"Mas, mau minta saran. Saya ini sudah memilih tetap menulis sebisa saya, dengan terus berupaya menyingkirkan malas yang kerap datang. Saya ingat pesan senior-senior saya dulu, kalau langkah awal untuk bisa jadi penulis itu ya intinya menulis saja, tak perlu cari apa-apa. Tak perlu mengejar apa-apa. Saya sudah melakukan itu beberapa tahun ini, dan jujur, lama-lama saya bosan juga. Datar... Saya seperti buta langkah dan tujuan. Bahkan semisal perjalanan, saya sedang berada di titik mana pun; saya tidak paham. Apa yang harus saya lakukan ?"
(Ini salah satu pernyataan sekaligus pertanyaan yang masuk di inbox media dari seorang kawan yang kiranya penting saya angkat)
...
Baiklah.. jadi begini. Sebelumnya, melalui tulisan ini, nantinya saya hanya akan berupaya memberikan saran (sesuai dengan permintaan saja), namun pastinya saya akan beri paparan terkait beberapa hal yang penting untuk dijadikan gambaran berpikir.
Pertama, sebagai penulis pemula, sebenarnya kiranya perlu selektif mencari figur. Jangan asal nge'fans', bahaya. Cari dia yang benar-benar mampu menginspirasi bukan hanya di seputar karya jadi. Energi-energi di luar dari karya jadi itu juga tidak dapat dielak bobot pentingnya. Jangan terburu-buru percaya pada siapa pun yang mencoba membunuh rasa percaya diri kita tentang anjuran bahwa ; menulis ya menulis saja. Jangan demi eksistensi, jangan demi materi, jangan demi apresiasi, jangan demi... jangan demi... atau apa pun itu bentuk kalimatnya. Mengingat, perintah jenis ini belum tentu relevan bagi sembarang telinga. Oh ya, perintah atau anjuran yang bijak akan menjadi benar jika dilontarkan sesuai dengan waktu dan kondisi penerimanya. Begitu kan?
Tidak dipungkiri memang, redaksi di atas termasuk jenis kalimat anjuran yang bagus, namun sebenarnya sarat dampak. Apalagi keliru dalam konteks pemilihan waktunya. Paling ringan, penerima anjuran tersebut akan lantas memandang masa depan yang begitu berat dan rumit apabila ia memilih melaluinya dengan cara menulis, hingga ujungnya; pastikan ia "wegah" untuk melanjutkan kegemarannya tersebut karena siklus arah cita-citanya terlanjur digembosi di tangga-tangga awalnya ketika melangkah. Kita tentu butuh sesekali menatap ruang atas saat sedang menapaki tangga, bukan? Atau minimal kita butuh mendengar cerita menarik dari para penghuni yang sudah pernah masuk di dalamnya. Mungkin hanya nol koma satu dari seribu juta orang yang punya semangat kian memuncak tatkala menapaki tangga tanpa mau tahu dan peduli ia hendak kemana. Objek kita ini manusia loh. Bukan berhala, yang jelas tidak bisa berpikir.
-Kilas balik saja sedikit-, dulu, kita sama-sama pernah berkeinginan mendapatkan rangking wahid ketika masih sekolah dasar. Orang tua kita juga pernah memberikan iming-iming hadiah di setiap nilai 9 pada mata pelajaran sekolah. Dan kita tergiur, kita tertarik, kemudian bisa menanamkan semangat belajar (meskipun demi hal yang terhitung receh). Saya rasa bukan tergolong orang tua yang visioner jika mendoktrin buah hatinya sendiri dari awal dengan himbauan kalimat "sudahlah nak yang penting sekolah saja. Tidak perlu nilai bagus, tidak penting ahlak mulia, jangan bercita-cita terlalu tinggi. Itu semua ndak penting".
Memang, kalimat perintah yang demikian tidak selamanya salah. Namun akan memiliki potensi membunuh karakter semangat si-anak ketika salah waktu dalam mengucapkannya. Wajar jika hari ini banyak generasi yang asal sekolah saja, tanpa punya capaian apa pun. Boleh jadi ini merupakan hasil dari kalimat motivasi yang salah waktu penyampaiannya. Boleh jadi...
Kita kembali ke problem menulis lah. Logis boleh kok !
Nyatanya, laptop itu beli. Sekolah itu bayar. Begadang itu ndak gratis. Rokok minta itu hina. Meskipun kita sama-sama tahu, pada akhirnya -- kecerdasan (sampai kapan pun nanti) tidak kan sempurna jika harus ditukar-nominalkan.
Mereka yang sudah pernah merasakan lezatnya rupiah dari payahnya menulis, sudah merasakan eksistensi nama baik, memang konon cenderung pasang kuda-kuda atraktif dengan mewartakan kerumitan-kerumitan prosesnya dalam menulis. Dihipnotisnya penulis-penulis pemula agar tak perlu ambil langkah gegabah dengan terburu-buru bercita-cita menuai hasil seperti dirinya. Hingga lahir-lah hipotesa angin, bahwa ganjaran rupiah dan ketenaran itu benar-benar layak untuk mereka dapatkan. Para penulis pemula tersebut mau tidak mau harus menerima tempaan kabar-kabar kerumitan berproses sebelum benar-benar dicoba. Ibaratnya, siapa sih yang gigih komitmennya untuk melanjutkan perjalanan menuju Surabaya jika sebelum berangkat sudah mendapat kabar tentang kemacetan, kecelakaan, biaya, tragedi jambret dan lain sebagainya ? Belum lagi, ketika sudah di tengah perjalanan nanti kita dihajar opini bahwa tidak ada yang bisa diistimewakan dari Surabaya. Bukankah berperjalanan seperti ini termasuk aktifitas yang sia-sia ? Nasihat atau anjuran di atas akan beda lagi urusannya ketika disampaikan pada seorang penulis pemula yang sudah mulai terjangkit wabah penyakit-penyakit hati yang akut dalam proses berjalannya. Ia -bisa jadi- memang sedang butuh diracun darahnya agar tidak menganggap segala langkahnya adalah sesuai kehendaknya. Racun akan bisa menjadi obat jika sampai pada kondisi tertentu. Tapi racun akan tetap menjadi racun di tangan orang yang sedang benar-benar butuh obat.
Jadi, wajar dan memang harus ada. Dalam setiap proses, seseorang berhak mengatasnamakan cita-cita demi mempertahankan keutuhan semangatnya. Bahkan jika perlu, kabarkan tentang kenikmatan eksistensi, berikan energi yang bisa memperkuat pendapatan bermateri, lantas lepaskan ia bersama halusinasinya sendiri, hingga tiba waktunya untuk berpikir tentang hal-hal yang harus dipikirkan lebih lanjut lagi. Kita tidak perlu memberikan racun penawar pada orang yang sedang sehat. Berikan racun itu di tengah ia nantinya terombang-ambing.
Toh, sampai detik ini, berapa persen penulis besar sih yang merasa biasa-biasa saja, tidak senang sama sekali, alias tidak jumawa ketika didapatinya karya-karyanya dapat perlahan melambungkan nama baiknya ? Berapa kepala dari mereka yang datar-datar saja ketika dijumpainya karya-karyanya bisa menghasilkan nominal rupiah jauh di luar prediksinya ? Sangat minim toh ? Kalau pun ada, pastikan mereka adalah penulis besar yang sufi, yang zuhud dan sudah paham benar bagaimana harus menyikapi capaiannya. Sekali lagi, kita sedang membahas manusia secara global, yang punya keinginan, punya perasaan, punya bekal berpikir dan punya hak bersenang-senang. Kita tidak sedang membahas batu yang jelas tidak punya cita-cita.
Meminjam istilah dari Syekh Ibnu Athoillah Assakandari, perihal "timbunlah dirimu di lembah yang jauh dari hiruk-pikuk ketenaran (ardl al chumuul), mengingat segala sesuatu yang tumbuh tanpa ditanam tidak akan sempurna hasilnya" adalah betul. Adalah sebuah petuah tentang seseorang lazim mampu meredam hasrat-hasratnya sebelum benar-benar bergelut dengan proses yang jauh dari iming-iming hasil -- agar hasilnya maksimal; tentunya. Betul pula apa yang termaktub dalam sebuah kaidah arab "tarju an najaata wa lam tasluk masaalikaha, inna as safiinata laa tajrii ala al yabas" (bagaimana bisa kamu mengharap kesuksesan sedangkan kamu tak terlebih dahulu menggeluti prosesnya, ketahuilah kapal tidak akan bisa berlayar hingga sampai pada tujuan, jika ia hanya ada di daratan) -- dan saya rasa masih banyak lagi kalimat-kalimat lain yang se-wajah. Kaidah-kaidah penguat tersebut memang nyata menitik-beratkan kesadaran kita semua bahwa hasil itu sebanding dengan proses yang kita perjalankan menuju hasil (al ajru bi qodri at ta'b). Akan menjadi tumpang dan salah tafsir ketika titik berat tersebut dibelokkan menjadi kita tidak boleh bercita-cita sama sekali. Seseorang akan bisa menikmati prosesnya -boleh jadi- ketika ia paham sedang berada di titik mana ia berjalan, lantas bisa merenung, lantas bisa berpikir, kemudian menyikapi lebih lanjut perihal perjalanannya.
Jadi, berkeinginan itu boleh. Bercita-cita itu wajar, asal masuk akal. Kalau anda memang sudah merasa tekun dalam dunia proses, rangkailah jalan menuju apa yang anda inginkan. Jangan diam saja sambil berpura-pura menikmati. Sakit ! Yang kurang benar itu, ketika anda sejauh ini tak punya kegemaran menulis, tak pernah punya i'tikad belajar menulis, lantas tetiba bercita-cita menjadi penulis dan berharap menjadi penulis besar. Pasti zonk lah !
Ada pun jika nantinya anda belum berkesempatan menjadi yang dibukakan jalan berhasilnya meskipun telah gigih menapaki prosesnya, ini perkara lain. Yang penting anda sudah berupaya menjadi manusia yang logis dan masuk akal dalam menjalani hidup, beres ! Toh jika masih gagal terus, anggap saja perjalanan anda adalah sebuah miniatur rekreasi hikmah bahwa Tuhan konkrit tidak bisa kita atur semau kita sendiri dengan memaksaNya patuh terhadap keinginan kita. Ya toh ? Setinggi apa pun mimpi kita, tidak akan mampu merobek serta membakar apa yang telah Tuhan gariskan untuk kita.
Ini masih poin pertama loh, belum kedua, ke tiga, dan seterusnya.
Mas bro,
Manusia itu ada gagalnya. Dalam gagal pun, pastikan ada nilai berhasilnya. Urusan hati, tata sambil jalan. Sambil berhati-hati menjalankannya, tentunya...
Salam !
Zehan Zareez
Comments
Post a Comment