ANGEL EMITASARY
Penulis: A.H J Khuzaini
Ditujukan untuk: Nur Kholis Huda
ilustrasi: pixabay.com cerpen angel emitasary |
Sudah saya tekadkan, selama tidak luput atau terpaksa. Seumur hidup tidak bakal mengunjungi cafe terbesar di kecamatan yang terpasang banyak bola lampu itu. Sebenarnya saya tidak memiliki masalah apapun dengannya, hanya saja saya mulai tidak menyukai tempat manapun yang memiliki halaman luas hanya untuk menampung kendaraan atau aliran listrik cuma berguna membuat bayang-bayang orang yang menghindari perbincangan. Dan andai Angel Emitasary, kekasih terakhir saya itu tidak memerintahkan ke sana. Hmm, perlu saya tegaskan, dia memerintahkan untuk berangkat ke sana. Andai bukan karena dia, saya jamin, tekad di benak saya masih akan sekuat akar kurma atau sesetia ombak menampar perahu nelayan.
Sore itu usai saya membantu memberi makan kelinci-kelincinya. Tanpa mengarahkan pandangannya ke arah saya, dia bilang kalau pemilik cafe itu sejak tiga bulan lalu telah berlangganan empat koran sekaligus.
“Sejak tiga bulan lalu?!” saya pura-pura peduli. Padahal bermaksud mengatakan bahwa tiga bulan ialah hitungan masa yang sama saat dia buat pertamakali mengirim cerita pendeknya ke alamat surat elektronik redaktur koran.
“Kucium hari ini keberuntungan ada di balik namaku” ujarnya.
“Kau selalu percaya namamu sewangi apel” goda saya.
“ya, tapi sejak kemarin, aku rasa lebih tepatnya sekuat bubuk mesiu loh! ”
Saya pembaca pertama cerita pendeknya sebelum dikirimkan. Tidak begitu buruk, tidak juga bisa dikatakan baik. Tapi saya percaya, bagi sarjana sastra Prancis yang berkampus di jantung Paris, seorang yang bekerja dua tahun di tepi kota pelabuhan Marseille, berkawan karib dengan beberapa keluarga imigran dan perempuan yang suka pada detail seperti dirinya itu, bisa meningkatkan dua kemungkinan, meninggikan taraf mutu bualannya atau membuat nya tanpa presisi, persis cara Jhon Lenon menulis The Walrus Song, lagu kesukaannya. Bertekstur kacau namun memukau. Semanis lukisan Salvador Dalli.
Saya sadari sepenuhnya, bukanlah seorang yang punya bakat jadi pengritik sastra yang pendapatnya bisa diambil hikmah, tapi dapatlah saya rasai ceritanya menyimpan bahaya dan rentan dikirim balik. Saya katakan itu padanya, syukur dia sudi menerimanya. Sebab itu baginya enteng saja saat dua belas cerita yang dia kirimkan mendapat penolakan. Tapi berbeda dengan cerita pendeknya bernomor tiga belas. Sayang, dia tidak meminta saya memeriksanya.
“Aku yakin hari ini cerpenku dimuat di salah satu dari empat koran di cafe itu” ucapnya penuh yakin seraya memberiku rangkulan dari belakang.
“Redakturnya kuyakin punya empati yang cukup tinggi”
“Tentu saja dia akan memuatnya, karena ceritaku kali ini bakal sulit dia dilupakan ”
“Kau tahu, aku punya banyak teman sarjana, tapi nggak sepercaya diri kamu”
Perempuan berambut hitam legam sebahu itu menggigit tengkuk saya, lalu melepas rangkulannya. Memutar badan kemudian pelan membenturkan dahinya yang sekuning kulit pir ke dahi saya. Merasa terteror, terbata-bata saya bilang “Kenapa kamu nggak berangkat sendiri saja kesana” tawar saya. Sary, begitu saya memanggilnya, perempuan dewasa yang mulutnya tak berhenti membahas cerita film baru dia ditonton yang membuatnya menangis atau apa saja yang memikat hatinya itu bergeming, sekaku arca Pradnya Paramita. Kemudian sepasang tangannya dengan erat memeluk tubuh saya, keras, hingga detak jantungnya yang mengencang terasa memukul degub jantung saya. Lima belas detik yang menyesakkan. Pelahan dia lepas pelukannya, memegang kepala saya dan berkata, “Aku bisa berteriak membaca namaku sendiri muncul sebagai penulis di koran” baru kali itu dia peduli dengan cara berbicaranya.
“Ya.. itu tak bisa dihindari. Pasti sangat mengerikan”
Usai meneguk wine pinot noir langsung dari bibir botol, dia memberi saya aba-aba dengan ujung telunjuk yang dinaik turunkan, persis cara nyonya tua yang sempat saya lihat ketika memberi perintah pada pemuda pengepul sampah rumah tangga.
“Kamu harus kesana!. Tapi sebelum itu, biar kukatakan sesuatu” setelah seteguk pinot noir melewati kerongkongan, dia lanjutkan petunjuknya “Koran itu dimasukkan ke dalam empat vas plastik, ditaruh tepat di depan rak buku, buku-bukunya cukup bagus, kusarankan jangan kau masukkan dalam kantung jaketmu. Satu pun”
“Baiklah, bisa kau pegang janjiku”
“Sebelum kau ambil koran-koran itu, pesanlah sesuatu dulu, apa saja asal jangan secangkir kopi” Sary mendenguskan nafas keras, entah kenapa saya mengikutinya pula “Meja tempat memesan menu cafe sudah terlihat dari pintu masuk, penjaganya gadis cantik, bibirnya merah muda tapi sangat mencolok, ucapannya penuh kesantunan, tapi kurasa dia bukan gadis tipemu. Karena kuyakin beberapa detik saat dia bicara kamu akan terganggu” dia kembali mengangkat botor wine. Saya terdorongan meminta barang sececap, tapi tertahan “Oh iya, ada yang penting. Di atas rak buku terpajang replika lukisan potret Vincente Van Gogh dan Pengeran Diponegoro berkuda meniru pulasan Raden Saleh. Lukisan itu juga, jangan sampai kau curi, walau aku tahu kalau itu memikatmu ketimbang benda lain. Termasuk uang dalam laci kasir”
“Hmmm”
“Aku janji, kalau nanti honor menulis cerita di koran cukup banyak, aku akan ikut lelang dan mengambilnya untukmu. Kalau belum cukup mungkin aku akan berlatih jadi badut, atau meneruskan kebiasaan buruk kita......”kalimatnya bisa lebih panjang dari yang bisa saya tuliskan kawan “ setelah kau lihat cerpenku, cepat sobek. Segeralah pulang” pungkasnya .
Saya lekas berangkat walau sejujurnya sangat berat menjalaninya. Sesial prajurit menuju padang perang hanya untuk dikalahkan. Toh, saya harus melakukannya. Pukul 19:28 kaki saya telah sampai bibir cafe yang tampak angkuh namun cemerlang di antara bengkel motor dan toko penjual pakan burung yang mengapitnya. Sebenarnya bisa lebih cepat barang sepuluh atau dua puluh menit, jika saja tidak saya sempatkan baku umpat dengan lelaki pengguna sedan tua dan penikmat parkir gratis lain yang bagi saya teramat tamak.
Usai masuk ke mulut cafe, mata saya perlahan menyisir ruang sesuai petunjuk Sary. Mulai dari meja pemesanan dan warna bibir penjaganya yang mencolok, rak buku, dua lukisan yang membangkitkan pikiran tercela, vas plastik dan orang-orang yang nampaknya tak peduli dengan siraman keindahan itu. Semuanya persis dikatakan Sarry dengan berapi-api, segairah pagutan bibirnya sebelum keberangkatan saya.
Saya paksakan melangkah menuju meja pemesanan. Mencapainya tak gampang, sebab saya harus menekan keangkuhan dan sebaik mungkin menamplkan kesopanan. Saya tahankan diri melewati beberapa meja. Saya ingat, meja pertama diisi potret keluarga bahagia berswafoto. Meja kedua berisi dua pasang kekasih yang tangan mereka menggenggam gelas kaca berembun. Saya bertaruh, satu dari dua pasangan itu pasti baru bertengkar. Meja ketiga, seorang lelaki tua berwajah sekaku bongkahan batu nisan, kelopak matanya yang cekung tak lepas mengawasi uap kopinya yang baru dihidangkan. Istrinya barangkali belum lama meninggal. Meja berikutya sekumpulan pemuda kota kecil yang mengumbar kata-kata khas pembual media sosial, seorang di antara mereka hanya diam saja, saya menguatirkan dia kerasukan. Meja kelima, meja keenam hingga ketuju sekumpulan pemain game online yang membiarkan sosis bakar dan kentang goreng dalam piring berbentuk daun mendingin . Meja terakhir seorang bocah, mungkin berusia empat belas tahun. Diam tanpa berkedip menyorotkan matanya ke pintu masuk, sementara tangan kirinya memutar gawai berlayar lebar. Saat saya hendak melintasinya, dia mengeser bola matanya untuk sekilas berbagi tatap dengan mata saya.
Sampailah di hadapan meja pemesanan. Kepada penjaga yang segala bagian tubuhnya mampu membangkitkan birahi, saya meminta segelas es beras kencur dan agar diizinkan megambil koran yang sediakan.
“Sungguh beruntung, tuan pembaca kedua koran hari ini, kami akan membuatkan cocktail, kami juga akan mengantar udang goreng dan mayones atau cukup saus toma. Tak perlu dibayar, ini semacam jamuan. Sambil nunggu jamuan dihidangkan, silahkan tuan duduk di kursi yang disediakan” Sarannya sambil menunjuk sebuah kursi sofa yang cukup dihuni dua orang. Saya tidak segera menuruti sarannya. Keramahan yang saya terima terus terang saja sangat membingunkan. Apa seperti ini cara pelayanan cafe terbaru.
“Apa maksudnya..kamu tadi bilang, Tuan. Pembaca kedua. Jamuan” keluh saya.
“Jadi begini tuan.....Sejak berlanggana koran. Pemilik cafe menyuruh kami agar memanggil pembaca koran dengan Tuan atau Puan, siapapun orangnya, berapapun usianya. Seingat saya, beliau tidak pernah memerintahkan sekeras itu kepada kami”.
Saya mengangguk, pura-pura paham, padahal lebih banyak menerka, apa sebenarnya yang bergerak di kepala pemilik cafe ini. Dan benar, gadis itu meski bibirnya semerah buah naga dan bertubuh sesegar buah semangka, bukan tipe saya.
“Baik, terimakasih banyak”
Tangan saya bersiap ambil keempat koran. Namun mata tergoda menyapu judul-judul buku yang ditata serapi deretan gigi Sary. Saya temukan satu judul buku yang dimata saya terbaca tak lebih dari sebuah sapaan penuh sarkas “Orang asing-Albert Camus”. Saya balas dengan bait pertama lagu Eleanor Rigby-The Beatles”. Wajah Van Gogh dalam pigura tersenyum pahit menatap saya yang bersitegang dengan judul buku. Saya kian terbetik membawanya pulang. Lukisan Pangeran Diponegoro di atas kuda jantannya, membuat saya harus menuntaskan perintah ini, meski telah dikalahkan sejak berada di lahan parkir.
Sempat merasa aneh dengan sofa yang sediakan. Bertebarak serbuk abu rokok dan masih terasa sisa hangat tubuh seseorang. Di mejapun asbak penuhi busa Philip Morris dan kulit permen mint. Mencoba duduk tak terganggu dengan kecurigaan sendiri. Lekas membuka lembar koran. Halaman pertama belum juga sempurna terbuka, telinga menangkap seorang datang mendekat disertai permintaan.
“Mas, saya boleh duduk di situ?” ternyata suara itu milik bocah yang sempat berbagi tatap di meja terakhir
“Duduklah” singkat jawab saya sambil memberinya posisi.
Hendak teruskan kembali lembar koran. Si bocah mengajukan tanya “Mas, apa Fir’aun dimasa Nabi Musa pernah mencoba jadi Tuhan?”
Sekian detik duduk dengan pandangan kosong dan kaki gemetaran. Menarik nafas panjang, berusaha secepat mungkin kesadaran kembali berhimpun.
“Kenapa pertanyaan itu harus muncul kembali, di sini, ditempat ini” keluh batin saya.
Tanpa melepas genggaman koran, kami kembali berbagi tatap, mata bocah itu mulai berkaca-kaca, terasa mendidih, membuat iba hati namun sangat mungin melepuhkan. Bocah itu, membuat saya sekilas mengenang diri di masa itu.
“Mas, apa Fira’un bisa menumbuhkan sembilan kepala dan seribu tangan?. Apa dia duduk di atas kelopak teratai, berbaring di cangkang penyu, punya ikan mas raksasa. Mengusai waktu dan peperangan. Apa dia bisa menyembuhkan orang sakit hanya dengan menyentuhkan telapak tangannya. apa saban malam dia mengunjungi orang-orang miskin dan kelaparan. Apa dia sanggup memusnahkan kerajaan dalam waktu semalam, apa dia bisa tidak terjangkau.... ?” baris tanya itu, cara bertanya itu, air mata yang melelah dan sengaja tak dicegah itu.
Nafas saya tersengal, seolah baru saja berlari sekian kilometer jauhnya. Dia harus mendapat kepercayaan bahwa orang dewasa tidak semua menyebalkan dan mengajarinya memendam dendam. Saya tak akan memberi saran agar dia lebih baik menunggu kelanjutan pertarungan kura-kura ninja atau mencari teman yang bisa dia ajak beradu gundu.
Saya mengamit tisu, lalu perlahan menyeka air matanya.
“Nak, apa kau masih punya rasa hormat pada guru pelajaran agama di sekolahmu?....Aku curiga kau sering bolos sekolah ” tanya saya menguji kusungguhannya bertanya, sambil mencuri kesempatan menyalakan sebatang rokok. Saya pun tidak berharap mendapat jawaban darinya.
“Guru?.....pasti ada yang menyebalkan, ada yang nggak. Sebagian besar mereka berbaik hati. Dan yang baik hati cuma beberapa dari mereka yang bisa kutemui... Aku rutin masuk sekolah...belum pernah sengaja bolos sejauh ini” setelah lelehan air matanya kering, bocah tertawa begitu lantangnya, beruntung tertahan oleh lagu Senorita-Shawn Mendez feat Camila Cabello yang menggetarkan dinding cafe. Tawanya yang mengencang juga teredam teriakan pemain game online yang mengambil alih sebagian meja kosong.
“Apa mas tahu, aku duduk di situ sejak cafe ini mulai berlangganan koran. Tiga bulan lalu. sengaja nunggu orang kedua yang mengambll koran. Kupikir, kepadanya bisa kajukan pertanyaan. Dua bulan lalu, kutemui pembaca kedua koran, perempuan, aku sempatkan mengajukan tanya pada dia”.
“Kau ingat namanya”
“ Namanya....Angel Emitasary”
“Hmmm...apa dia bilang suka merawat kelinci?”
“Iya, dia juga bilang, sudah hidup beberapa tahun bersama lelaki yang tak kunjung melingkarkan cincin”
Mendengar pengakuan itu, mengingat pada gegelar petir saat buang air. Dada saya berguncang. Beruntung bocah itu menahan omongannya. Saya taruh rokok di asban yang hampir penuh. Si bocah kemudian menyusulkan kalimat “Perempuan itu bilang, aku harus bersabar. Katanya aku akan bertemu dengan pelanggan yang bisa memberikuu jawaban. Aku percaya padanya”.
“Jadi dia tidak memberimu jawaban?”
“Dia hanya memberikan HP-nya dan meninggalkan rokoknya untukku, terus pulang’
“Perempuan ceroboh. Apa ini alasan lain Sary menyuruhku datang kemari” Saya membatin keras
“Mas, tolong katakan, apa benar Fira’un pernah mencoba jadi Tuhan?”
Tanya itu kembali diajukan, dan bocah harus mendapat jawaban. Saya begitu yakin, di suatu waktu pertanyaan itu bakal diterimanya dari dari mulut bocah lain, bisa saja dari anak saya kelak.
“Nak, boleh saya mengusap kepalamu” Bocah itu segera mendekatkan kepalanya, selembut mungkin saya meraihnya, mendekatkan di dada saya yang bertalu-talu. Terlalu banyak hal yang ingin saya katakan kepadanya tentang Fir’aun, alasan saya datang ke cafe yang serba membingungkan ini. Siapa bagi saya perempuan yang meninggalkan rokok untuknya. Dan dekapan kepala, sesuau yang ingin saya terima dari guru pelajaran agama, orang dewasa atau siapa saja yang sempat saya ajukan tanya waktu itu. Angel Emitasary, manusia terakhir pendengar tanya dari saya tentang manusia yang mencoba jadi Tuhan. Dia menenangkan dengan meminta saya mendengar degub jantungnya. Sepanjang itu saya memejamkan mata yang basah, merasa hangat dan begitu tentram seolah berada dalam kuil kala permulaan senja. Satu alasan yang saya siap mati kapan saja untuknya.
“Cukup, aku sudah tahu jawabannya. Aku juga rahasia hati lelaki dewasa” ucap si bocah sambil menjauhkan telinganya “Aku sebenarnya tahu, manusia yang mencoba jadi Tuhan cuma omong kosong”
“Ya, kaya gitulah, tapi kehendak itu selalu muncul disetiap jaman. Sekarang ”
Si bocah mengutarakan beberapa gagasan tentang dirinya, jalan pikiran yang membuatnya bersilih dengan kawan-kawannya. Rumahnya yang selalu terkunci, kakak kelas yang dicintainya hampir saja diperkosa seseorang. Aku kehabisan cara menanggapinya.
“Oh iya kenapa dengan Hp mu?” saya alihkan pembicaraan, seraya memungut gawai yang layarnya telah retak dan bisa saya pastikan kompenennya rusak. Dia diam dan memahami maksud pertanyaan itu, “Tadi kubanting......Tuhan nggak menyelamatkan” jawabnya tanpa melihat apa yang coba saya lakukan dengan gawainya.
“Apa kau perlu HP baru?”
“Nggak, saya akan membiasakan diri menata batu dan pasir”
“Mau bikin piramid?”
“Piramid...cukup seekor ikan atau sebuah bukit kecil”
“Mmm, sebagai tempat pemujaaan?”
“ Untuk dihancurkan....setelah itu bikin lagi”
“Jadi untuk dihancurkan? Sayang” saya coba memastikan.
“Lalu mas pikir untuk apa!”
“Hahahaha”
“Hmm”
“Siapa namamu?”
“Phytagoras!”
Usai Phytagoras menyebut nama beserta nasib buruk yang menyertai nama itu, seorang pelayan datang membawa nampan berisi segelas cocktail dan kudapan yang dijanjikan. Diikuti penjaga meja pemesanan sedang menenteng buku kencil dan bolpoin. Si penjaga menyuruh saya menulis nama dan meninggalkan nomor kontak “Pemilik cafe meminta kami melakukannya, tuan. Sebelumnya maaf tuan, sofa dan mejanya belum sempat kami bersihkan”.
Sewaktu menulis nama dan mengingat nomor kontak. Phytagoras telah meninggalkan tempat duduk dan gawai remuk di meja. Saya membuka koran sambil menunggu dia kembali.
Halaman demi halaman koran pertama sudah saya buka, tanpa tersemat nama Angel Emitasary. Memang ada sebuah cerpen di situ, ditulis nama tenar, berkisah kejadian yang terekam dalam kitab suci. Dan cara dia memilih judul, bisa-bisa mengancam orang beriman rapuh seperti saya. Tulisan sedemikian buruknya, sebaiknya tak perlu dihasilkan.
Nama panjang Sary juga tidak muncul di lembar koran kedua. “Mungkin ada di koran berikutnya” pikir saya. Sebab itu saya sempatkan sejenak membaca cepat cerita yang dimuatnya. Dikarang penulis muda, saya dapat merasakan dari cara dia memilih judul, teknik membuka paraghraf pertama serta membuat tokoh utamanya bernasib sial namun berakhir sebagai mitos yang mendidik anak-anak kampung miskin. “Tersebutlah kisah penjual bermata satu yang ditutup dengan paruh sendok. Dia menjajakan cermin bundar dari lorong sebuah kampung persis setelah Jamaah salat Maghrib turun dari masjid” Dengan tema dan gaya bercerita serta sikap penulisnya yang nampak nihilis, saya yakin Sary atau bahkan saya sendiri bisa menuliskan lima puluh empat cerita pendek yang bisa jadi lebih baik. Saya pun menyobeknya melipat dan memasukkan dalam saku jaket.
“Bung! Itu pencurian” terdengar suara lelaki deasa dari belakang, cukup mengagetkan.
“Apa nanti aku dihukum?”
“Tidak” lelaki itu duduk di bahu kursi, menawarkan rokoknya pada saya. Saya ambil sebatang tanpa berhasrat membakar ujunnya. Dia itu terlihat cukup rapi dan harum, bersepatu pantovel berkilat. Mengenakan kemeja berleher kaku yang dimasukkan dalam celana ketatnya. Dia mengulur tangannya kearah saya, menyebutkan nama dan statusnya sebagai orang punya koneksi dengan beberapa redaktur koran.
“Bung, apa kedatanganmu kemari ingin memastikan nama kekasih Bung muncul di koran?” saya tingkatkan kewaspadaan. Usai mematik rokoknya dan menghembuskan asapa pertama lelaki itu melanjutkan “Cerita kekasih Bung termuat di koran R. Saya bersyukur atas itu. Tapi sayang, lembar disobek seseorang. Seperti cara bung tadi”
“Siapa?”
“Pembaca pertama koran hari ini, pemilik cafe ini”
“Ah”
“Bung harus tahu, kekasih bung itu bagi kami umpama malaikat yang memangkas sayapnya. Tentunya Bung sudah menyadarinya sejak lama”.
Sepanjang dia menceritakan sisi lain Sary yang baru malam itu saya dengar tapi sama tak begitu mengejutkan. Bahwa alasan cafe besar itu berdiri di kecamatan ini, apa yang mendorong pemiliknya berlangganan empat koran sekaligus, pemilik cafe tak lain Bapak Sary, serta jatidiri lelaki di samping saya itu. Ah, aku baru sadar dia orang di dalam sedan tua yang kubentak di parkiran. Kenyataan yang tidak penting. Benak saya mencari cara bagaimana membawa pulang sobekan cerita untuk Sary. Dia harus mendapatkan bukti janji saya.
“Di mana sobekan koran itu?”
“Setengah jam lalu. Di halaman parkir, ayah metitipkan pada bocah bernama Phytagoras”
Mulut saya tercungap. Lantas lekas berlari.
“Bajingan, ternyata cafe ini perangkap”
Sore itu usai saya membantu memberi makan kelinci-kelincinya. Tanpa mengarahkan pandangannya ke arah saya, dia bilang kalau pemilik cafe itu sejak tiga bulan lalu telah berlangganan empat koran sekaligus.
“Sejak tiga bulan lalu?!” saya pura-pura peduli. Padahal bermaksud mengatakan bahwa tiga bulan ialah hitungan masa yang sama saat dia buat pertamakali mengirim cerita pendeknya ke alamat surat elektronik redaktur koran.
“Kucium hari ini keberuntungan ada di balik namaku” ujarnya.
“Kau selalu percaya namamu sewangi apel” goda saya.
“ya, tapi sejak kemarin, aku rasa lebih tepatnya sekuat bubuk mesiu loh! ”
Saya pembaca pertama cerita pendeknya sebelum dikirimkan. Tidak begitu buruk, tidak juga bisa dikatakan baik. Tapi saya percaya, bagi sarjana sastra Prancis yang berkampus di jantung Paris, seorang yang bekerja dua tahun di tepi kota pelabuhan Marseille, berkawan karib dengan beberapa keluarga imigran dan perempuan yang suka pada detail seperti dirinya itu, bisa meningkatkan dua kemungkinan, meninggikan taraf mutu bualannya atau membuat nya tanpa presisi, persis cara Jhon Lenon menulis The Walrus Song, lagu kesukaannya. Bertekstur kacau namun memukau. Semanis lukisan Salvador Dalli.
Saya sadari sepenuhnya, bukanlah seorang yang punya bakat jadi pengritik sastra yang pendapatnya bisa diambil hikmah, tapi dapatlah saya rasai ceritanya menyimpan bahaya dan rentan dikirim balik. Saya katakan itu padanya, syukur dia sudi menerimanya. Sebab itu baginya enteng saja saat dua belas cerita yang dia kirimkan mendapat penolakan. Tapi berbeda dengan cerita pendeknya bernomor tiga belas. Sayang, dia tidak meminta saya memeriksanya.
“Aku yakin hari ini cerpenku dimuat di salah satu dari empat koran di cafe itu” ucapnya penuh yakin seraya memberiku rangkulan dari belakang.
“Redakturnya kuyakin punya empati yang cukup tinggi”
“Tentu saja dia akan memuatnya, karena ceritaku kali ini bakal sulit dia dilupakan ”
“Kau tahu, aku punya banyak teman sarjana, tapi nggak sepercaya diri kamu”
Perempuan berambut hitam legam sebahu itu menggigit tengkuk saya, lalu melepas rangkulannya. Memutar badan kemudian pelan membenturkan dahinya yang sekuning kulit pir ke dahi saya. Merasa terteror, terbata-bata saya bilang “Kenapa kamu nggak berangkat sendiri saja kesana” tawar saya. Sary, begitu saya memanggilnya, perempuan dewasa yang mulutnya tak berhenti membahas cerita film baru dia ditonton yang membuatnya menangis atau apa saja yang memikat hatinya itu bergeming, sekaku arca Pradnya Paramita. Kemudian sepasang tangannya dengan erat memeluk tubuh saya, keras, hingga detak jantungnya yang mengencang terasa memukul degub jantung saya. Lima belas detik yang menyesakkan. Pelahan dia lepas pelukannya, memegang kepala saya dan berkata, “Aku bisa berteriak membaca namaku sendiri muncul sebagai penulis di koran” baru kali itu dia peduli dengan cara berbicaranya.
“Ya.. itu tak bisa dihindari. Pasti sangat mengerikan”
Usai meneguk wine pinot noir langsung dari bibir botol, dia memberi saya aba-aba dengan ujung telunjuk yang dinaik turunkan, persis cara nyonya tua yang sempat saya lihat ketika memberi perintah pada pemuda pengepul sampah rumah tangga.
“Kamu harus kesana!. Tapi sebelum itu, biar kukatakan sesuatu” setelah seteguk pinot noir melewati kerongkongan, dia lanjutkan petunjuknya “Koran itu dimasukkan ke dalam empat vas plastik, ditaruh tepat di depan rak buku, buku-bukunya cukup bagus, kusarankan jangan kau masukkan dalam kantung jaketmu. Satu pun”
“Baiklah, bisa kau pegang janjiku”
“Sebelum kau ambil koran-koran itu, pesanlah sesuatu dulu, apa saja asal jangan secangkir kopi” Sary mendenguskan nafas keras, entah kenapa saya mengikutinya pula “Meja tempat memesan menu cafe sudah terlihat dari pintu masuk, penjaganya gadis cantik, bibirnya merah muda tapi sangat mencolok, ucapannya penuh kesantunan, tapi kurasa dia bukan gadis tipemu. Karena kuyakin beberapa detik saat dia bicara kamu akan terganggu” dia kembali mengangkat botor wine. Saya terdorongan meminta barang sececap, tapi tertahan “Oh iya, ada yang penting. Di atas rak buku terpajang replika lukisan potret Vincente Van Gogh dan Pengeran Diponegoro berkuda meniru pulasan Raden Saleh. Lukisan itu juga, jangan sampai kau curi, walau aku tahu kalau itu memikatmu ketimbang benda lain. Termasuk uang dalam laci kasir”
“Hmmm”
“Aku janji, kalau nanti honor menulis cerita di koran cukup banyak, aku akan ikut lelang dan mengambilnya untukmu. Kalau belum cukup mungkin aku akan berlatih jadi badut, atau meneruskan kebiasaan buruk kita......”kalimatnya bisa lebih panjang dari yang bisa saya tuliskan kawan “ setelah kau lihat cerpenku, cepat sobek. Segeralah pulang” pungkasnya .
Saya lekas berangkat walau sejujurnya sangat berat menjalaninya. Sesial prajurit menuju padang perang hanya untuk dikalahkan. Toh, saya harus melakukannya. Pukul 19:28 kaki saya telah sampai bibir cafe yang tampak angkuh namun cemerlang di antara bengkel motor dan toko penjual pakan burung yang mengapitnya. Sebenarnya bisa lebih cepat barang sepuluh atau dua puluh menit, jika saja tidak saya sempatkan baku umpat dengan lelaki pengguna sedan tua dan penikmat parkir gratis lain yang bagi saya teramat tamak.
Usai masuk ke mulut cafe, mata saya perlahan menyisir ruang sesuai petunjuk Sary. Mulai dari meja pemesanan dan warna bibir penjaganya yang mencolok, rak buku, dua lukisan yang membangkitkan pikiran tercela, vas plastik dan orang-orang yang nampaknya tak peduli dengan siraman keindahan itu. Semuanya persis dikatakan Sarry dengan berapi-api, segairah pagutan bibirnya sebelum keberangkatan saya.
Saya paksakan melangkah menuju meja pemesanan. Mencapainya tak gampang, sebab saya harus menekan keangkuhan dan sebaik mungkin menamplkan kesopanan. Saya tahankan diri melewati beberapa meja. Saya ingat, meja pertama diisi potret keluarga bahagia berswafoto. Meja kedua berisi dua pasang kekasih yang tangan mereka menggenggam gelas kaca berembun. Saya bertaruh, satu dari dua pasangan itu pasti baru bertengkar. Meja ketiga, seorang lelaki tua berwajah sekaku bongkahan batu nisan, kelopak matanya yang cekung tak lepas mengawasi uap kopinya yang baru dihidangkan. Istrinya barangkali belum lama meninggal. Meja berikutya sekumpulan pemuda kota kecil yang mengumbar kata-kata khas pembual media sosial, seorang di antara mereka hanya diam saja, saya menguatirkan dia kerasukan. Meja kelima, meja keenam hingga ketuju sekumpulan pemain game online yang membiarkan sosis bakar dan kentang goreng dalam piring berbentuk daun mendingin . Meja terakhir seorang bocah, mungkin berusia empat belas tahun. Diam tanpa berkedip menyorotkan matanya ke pintu masuk, sementara tangan kirinya memutar gawai berlayar lebar. Saat saya hendak melintasinya, dia mengeser bola matanya untuk sekilas berbagi tatap dengan mata saya.
Sampailah di hadapan meja pemesanan. Kepada penjaga yang segala bagian tubuhnya mampu membangkitkan birahi, saya meminta segelas es beras kencur dan agar diizinkan megambil koran yang sediakan.
“Sungguh beruntung, tuan pembaca kedua koran hari ini, kami akan membuatkan cocktail, kami juga akan mengantar udang goreng dan mayones atau cukup saus toma. Tak perlu dibayar, ini semacam jamuan. Sambil nunggu jamuan dihidangkan, silahkan tuan duduk di kursi yang disediakan” Sarannya sambil menunjuk sebuah kursi sofa yang cukup dihuni dua orang. Saya tidak segera menuruti sarannya. Keramahan yang saya terima terus terang saja sangat membingunkan. Apa seperti ini cara pelayanan cafe terbaru.
“Apa maksudnya..kamu tadi bilang, Tuan. Pembaca kedua. Jamuan” keluh saya.
“Jadi begini tuan.....Sejak berlanggana koran. Pemilik cafe menyuruh kami agar memanggil pembaca koran dengan Tuan atau Puan, siapapun orangnya, berapapun usianya. Seingat saya, beliau tidak pernah memerintahkan sekeras itu kepada kami”.
Saya mengangguk, pura-pura paham, padahal lebih banyak menerka, apa sebenarnya yang bergerak di kepala pemilik cafe ini. Dan benar, gadis itu meski bibirnya semerah buah naga dan bertubuh sesegar buah semangka, bukan tipe saya.
“Baik, terimakasih banyak”
Tangan saya bersiap ambil keempat koran. Namun mata tergoda menyapu judul-judul buku yang ditata serapi deretan gigi Sary. Saya temukan satu judul buku yang dimata saya terbaca tak lebih dari sebuah sapaan penuh sarkas “Orang asing-Albert Camus”. Saya balas dengan bait pertama lagu Eleanor Rigby-The Beatles”. Wajah Van Gogh dalam pigura tersenyum pahit menatap saya yang bersitegang dengan judul buku. Saya kian terbetik membawanya pulang. Lukisan Pangeran Diponegoro di atas kuda jantannya, membuat saya harus menuntaskan perintah ini, meski telah dikalahkan sejak berada di lahan parkir.
Sempat merasa aneh dengan sofa yang sediakan. Bertebarak serbuk abu rokok dan masih terasa sisa hangat tubuh seseorang. Di mejapun asbak penuhi busa Philip Morris dan kulit permen mint. Mencoba duduk tak terganggu dengan kecurigaan sendiri. Lekas membuka lembar koran. Halaman pertama belum juga sempurna terbuka, telinga menangkap seorang datang mendekat disertai permintaan.
“Mas, saya boleh duduk di situ?” ternyata suara itu milik bocah yang sempat berbagi tatap di meja terakhir
“Duduklah” singkat jawab saya sambil memberinya posisi.
Hendak teruskan kembali lembar koran. Si bocah mengajukan tanya “Mas, apa Fir’aun dimasa Nabi Musa pernah mencoba jadi Tuhan?”
Sekian detik duduk dengan pandangan kosong dan kaki gemetaran. Menarik nafas panjang, berusaha secepat mungkin kesadaran kembali berhimpun.
“Kenapa pertanyaan itu harus muncul kembali, di sini, ditempat ini” keluh batin saya.
Tanpa melepas genggaman koran, kami kembali berbagi tatap, mata bocah itu mulai berkaca-kaca, terasa mendidih, membuat iba hati namun sangat mungin melepuhkan. Bocah itu, membuat saya sekilas mengenang diri di masa itu.
“Mas, apa Fira’un bisa menumbuhkan sembilan kepala dan seribu tangan?. Apa dia duduk di atas kelopak teratai, berbaring di cangkang penyu, punya ikan mas raksasa. Mengusai waktu dan peperangan. Apa dia bisa menyembuhkan orang sakit hanya dengan menyentuhkan telapak tangannya. apa saban malam dia mengunjungi orang-orang miskin dan kelaparan. Apa dia sanggup memusnahkan kerajaan dalam waktu semalam, apa dia bisa tidak terjangkau.... ?” baris tanya itu, cara bertanya itu, air mata yang melelah dan sengaja tak dicegah itu.
Nafas saya tersengal, seolah baru saja berlari sekian kilometer jauhnya. Dia harus mendapat kepercayaan bahwa orang dewasa tidak semua menyebalkan dan mengajarinya memendam dendam. Saya tak akan memberi saran agar dia lebih baik menunggu kelanjutan pertarungan kura-kura ninja atau mencari teman yang bisa dia ajak beradu gundu.
Saya mengamit tisu, lalu perlahan menyeka air matanya.
“Nak, apa kau masih punya rasa hormat pada guru pelajaran agama di sekolahmu?....Aku curiga kau sering bolos sekolah ” tanya saya menguji kusungguhannya bertanya, sambil mencuri kesempatan menyalakan sebatang rokok. Saya pun tidak berharap mendapat jawaban darinya.
“Guru?.....pasti ada yang menyebalkan, ada yang nggak. Sebagian besar mereka berbaik hati. Dan yang baik hati cuma beberapa dari mereka yang bisa kutemui... Aku rutin masuk sekolah...belum pernah sengaja bolos sejauh ini” setelah lelehan air matanya kering, bocah tertawa begitu lantangnya, beruntung tertahan oleh lagu Senorita-Shawn Mendez feat Camila Cabello yang menggetarkan dinding cafe. Tawanya yang mengencang juga teredam teriakan pemain game online yang mengambil alih sebagian meja kosong.
“Apa mas tahu, aku duduk di situ sejak cafe ini mulai berlangganan koran. Tiga bulan lalu. sengaja nunggu orang kedua yang mengambll koran. Kupikir, kepadanya bisa kajukan pertanyaan. Dua bulan lalu, kutemui pembaca kedua koran, perempuan, aku sempatkan mengajukan tanya pada dia”.
“Kau ingat namanya”
“ Namanya....Angel Emitasary”
“Hmmm...apa dia bilang suka merawat kelinci?”
“Iya, dia juga bilang, sudah hidup beberapa tahun bersama lelaki yang tak kunjung melingkarkan cincin”
Mendengar pengakuan itu, mengingat pada gegelar petir saat buang air. Dada saya berguncang. Beruntung bocah itu menahan omongannya. Saya taruh rokok di asban yang hampir penuh. Si bocah kemudian menyusulkan kalimat “Perempuan itu bilang, aku harus bersabar. Katanya aku akan bertemu dengan pelanggan yang bisa memberikuu jawaban. Aku percaya padanya”.
“Jadi dia tidak memberimu jawaban?”
“Dia hanya memberikan HP-nya dan meninggalkan rokoknya untukku, terus pulang’
“Perempuan ceroboh. Apa ini alasan lain Sary menyuruhku datang kemari” Saya membatin keras
“Mas, tolong katakan, apa benar Fira’un pernah mencoba jadi Tuhan?”
Tanya itu kembali diajukan, dan bocah harus mendapat jawaban. Saya begitu yakin, di suatu waktu pertanyaan itu bakal diterimanya dari dari mulut bocah lain, bisa saja dari anak saya kelak.
“Nak, boleh saya mengusap kepalamu” Bocah itu segera mendekatkan kepalanya, selembut mungkin saya meraihnya, mendekatkan di dada saya yang bertalu-talu. Terlalu banyak hal yang ingin saya katakan kepadanya tentang Fir’aun, alasan saya datang ke cafe yang serba membingungkan ini. Siapa bagi saya perempuan yang meninggalkan rokok untuknya. Dan dekapan kepala, sesuau yang ingin saya terima dari guru pelajaran agama, orang dewasa atau siapa saja yang sempat saya ajukan tanya waktu itu. Angel Emitasary, manusia terakhir pendengar tanya dari saya tentang manusia yang mencoba jadi Tuhan. Dia menenangkan dengan meminta saya mendengar degub jantungnya. Sepanjang itu saya memejamkan mata yang basah, merasa hangat dan begitu tentram seolah berada dalam kuil kala permulaan senja. Satu alasan yang saya siap mati kapan saja untuknya.
“Cukup, aku sudah tahu jawabannya. Aku juga rahasia hati lelaki dewasa” ucap si bocah sambil menjauhkan telinganya “Aku sebenarnya tahu, manusia yang mencoba jadi Tuhan cuma omong kosong”
“Ya, kaya gitulah, tapi kehendak itu selalu muncul disetiap jaman. Sekarang ”
Si bocah mengutarakan beberapa gagasan tentang dirinya, jalan pikiran yang membuatnya bersilih dengan kawan-kawannya. Rumahnya yang selalu terkunci, kakak kelas yang dicintainya hampir saja diperkosa seseorang. Aku kehabisan cara menanggapinya.
“Oh iya kenapa dengan Hp mu?” saya alihkan pembicaraan, seraya memungut gawai yang layarnya telah retak dan bisa saya pastikan kompenennya rusak. Dia diam dan memahami maksud pertanyaan itu, “Tadi kubanting......Tuhan nggak menyelamatkan” jawabnya tanpa melihat apa yang coba saya lakukan dengan gawainya.
“Apa kau perlu HP baru?”
“Nggak, saya akan membiasakan diri menata batu dan pasir”
“Mau bikin piramid?”
“Piramid...cukup seekor ikan atau sebuah bukit kecil”
“Mmm, sebagai tempat pemujaaan?”
“ Untuk dihancurkan....setelah itu bikin lagi”
“Jadi untuk dihancurkan? Sayang” saya coba memastikan.
“Lalu mas pikir untuk apa!”
“Hahahaha”
“Hmm”
“Siapa namamu?”
“Phytagoras!”
Usai Phytagoras menyebut nama beserta nasib buruk yang menyertai nama itu, seorang pelayan datang membawa nampan berisi segelas cocktail dan kudapan yang dijanjikan. Diikuti penjaga meja pemesanan sedang menenteng buku kencil dan bolpoin. Si penjaga menyuruh saya menulis nama dan meninggalkan nomor kontak “Pemilik cafe meminta kami melakukannya, tuan. Sebelumnya maaf tuan, sofa dan mejanya belum sempat kami bersihkan”.
Sewaktu menulis nama dan mengingat nomor kontak. Phytagoras telah meninggalkan tempat duduk dan gawai remuk di meja. Saya membuka koran sambil menunggu dia kembali.
Halaman demi halaman koran pertama sudah saya buka, tanpa tersemat nama Angel Emitasary. Memang ada sebuah cerpen di situ, ditulis nama tenar, berkisah kejadian yang terekam dalam kitab suci. Dan cara dia memilih judul, bisa-bisa mengancam orang beriman rapuh seperti saya. Tulisan sedemikian buruknya, sebaiknya tak perlu dihasilkan.
Nama panjang Sary juga tidak muncul di lembar koran kedua. “Mungkin ada di koran berikutnya” pikir saya. Sebab itu saya sempatkan sejenak membaca cepat cerita yang dimuatnya. Dikarang penulis muda, saya dapat merasakan dari cara dia memilih judul, teknik membuka paraghraf pertama serta membuat tokoh utamanya bernasib sial namun berakhir sebagai mitos yang mendidik anak-anak kampung miskin. “Tersebutlah kisah penjual bermata satu yang ditutup dengan paruh sendok. Dia menjajakan cermin bundar dari lorong sebuah kampung persis setelah Jamaah salat Maghrib turun dari masjid” Dengan tema dan gaya bercerita serta sikap penulisnya yang nampak nihilis, saya yakin Sary atau bahkan saya sendiri bisa menuliskan lima puluh empat cerita pendek yang bisa jadi lebih baik. Saya pun menyobeknya melipat dan memasukkan dalam saku jaket.
“Bung! Itu pencurian” terdengar suara lelaki deasa dari belakang, cukup mengagetkan.
“Apa nanti aku dihukum?”
“Tidak” lelaki itu duduk di bahu kursi, menawarkan rokoknya pada saya. Saya ambil sebatang tanpa berhasrat membakar ujunnya. Dia itu terlihat cukup rapi dan harum, bersepatu pantovel berkilat. Mengenakan kemeja berleher kaku yang dimasukkan dalam celana ketatnya. Dia mengulur tangannya kearah saya, menyebutkan nama dan statusnya sebagai orang punya koneksi dengan beberapa redaktur koran.
“Bung, apa kedatanganmu kemari ingin memastikan nama kekasih Bung muncul di koran?” saya tingkatkan kewaspadaan. Usai mematik rokoknya dan menghembuskan asapa pertama lelaki itu melanjutkan “Cerita kekasih Bung termuat di koran R. Saya bersyukur atas itu. Tapi sayang, lembar disobek seseorang. Seperti cara bung tadi”
“Siapa?”
“Pembaca pertama koran hari ini, pemilik cafe ini”
“Ah”
“Bung harus tahu, kekasih bung itu bagi kami umpama malaikat yang memangkas sayapnya. Tentunya Bung sudah menyadarinya sejak lama”.
Sepanjang dia menceritakan sisi lain Sary yang baru malam itu saya dengar tapi sama tak begitu mengejutkan. Bahwa alasan cafe besar itu berdiri di kecamatan ini, apa yang mendorong pemiliknya berlangganan empat koran sekaligus, pemilik cafe tak lain Bapak Sary, serta jatidiri lelaki di samping saya itu. Ah, aku baru sadar dia orang di dalam sedan tua yang kubentak di parkiran. Kenyataan yang tidak penting. Benak saya mencari cara bagaimana membawa pulang sobekan cerita untuk Sary. Dia harus mendapatkan bukti janji saya.
“Di mana sobekan koran itu?”
“Setengah jam lalu. Di halaman parkir, ayah metitipkan pada bocah bernama Phytagoras”
Mulut saya tercungap. Lantas lekas berlari.
“Bajingan, ternyata cafe ini perangkap”
Lamongan, 10 Desember 2019
Comments
Post a Comment