MENCERMATI HUBUNGAN USBN DENGAN PPDB
Oleh: Nur Kholis Huda, M.Pd.
Bulan Mei yang telah berlalu, seakan menjelma menjadi bulan yang tiap tahun sangat sakral dan mencekam bagi guru dan orang tua siswa menghadapi puncak kelulusan. Tidak hanya SMP dan SMA, di tingkat SD ternyata tidak kalah mencekam. Bagaimana tidak, masa depan pendidikan anak sekolah dasar, dengan terpaksa ditentukan oleh tiga mata pelajaran yang di-USBN-kan dalam tiga hari. Menjelang detik-detik pengumuman hasil USBN (Ujian Sekolah Berstandar Nasional), orang tua dibuat was-was akan hasil USBN putra-putrinya. Terlebih, ketika mengetahui hasil USBN yang tahun ini seperti terjun bebas dengan tambahan sistem penilaian baru yaitu model soal uraian.
Sebenarnya, kita tidak tahu persis penyebab merosotnya nilai USBN, kita hanya menduga-duga dengan pemikiran-pemikiran yang belum bisa dibuktikan. Tapi kenyataannya, nilai USBN dari siswa yang pernah menjadi juara, seperti olimpiade atau siswa berprestasi tingkat provinsi bisa kalah dengan siswa-siswa yang katakanlah belum pernah meraih juara. Meskipun kita semua tahu bahwa dalam pendidikan tidak ada istilah kalah-menang. Memang, semua tidak terlepas dari takdir Tuhan, akan tetapi dalam logika saya, hal semacam ini sangat riskan menjadi bahan keraguan.
Hubungan Mesra USBN dan PPDB
Selama ini, tidak bisa dipungkiri bahwa antara ujian sekolah berstandar nasional (USBN) selalu menjalin hubungan mesra dengan PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru). USBN sangat berpengaruh terhadap proses PPDB, bisa dikatakan jika nilai USBN bagus dapat memuluskan proses PPDB lebih lancar. Meski beberapa tahun ke belakang, dalam pelaksanaan penilaian PPDB (sebagian wilayah) masih memperhitungkan 40% nilai rapor kelas 4 hingga kelas 6, namun 60% sisanya yang lebih besar masih sangat berdampak dalam penentuan penerimaan di tingkat SMP. Mau tidak mau, kebijakan PPDB harus dilalui dan dilaksanakan.
Seorang siswa yang memiliki potensi, bisa karam pada hasil USBN yang bisa saya katakan perlu diragukan tingkat kevalidannya. Untungnya, pertimbangan penambahan poin dari piagam prestasi akademik maupun non akademik bisa menjadi juru selamat. Hingga, karena ketakutan akan kekurangan poin, orang tua berupaya mencari-carikan piagam untuk mendapat tambahan nilai. Walau pada kenyataan di lapangan yang diakui hanya piagam juara 1,2, dan 3 dan terbatas pada tingkatan minimal kabupaten.
Minimnya Standar Minimal
Dengan nilai USBN sebagai patokan masuk SMP, bukan menjadi hal baru jika banyak terjadi penyalahgunaan fungsi pendidikan. Pendidikan yang sejatinya memanusiakan manusia dengan olah cipta, rasa, dan karsa, semakin hari semakin terkikis adanya. Dengan kata lain, nilai kejujuran hanya sebatas obrolan formalitas tanpa ditunjang dengan konsistensi dalam pelaksanaan. Dan anehnya, kita merasa biasa-biasa saja dengan fenomena yang semacam ini. Kita selalu menganggap ukuran kesuksesan hanya pada nilai USBN tinggi dan masuk ke sekolah favorit, sehingga hal semacam ini menjadi tuntutan kehidupan yang berulang dari tahun ke tahun.
Hal lain yang menjadi gejolak dalam fenomena PPDB tahun ini adalah minimnya standar minimal, antara satu sekolah dengan sekolah lain, antara satu kecamatan dengan kecamatan lain, pada tahun ini kurang bisa terealisasi secara obyektif dengan adanya soal uraian pada USBN. Suatu misal, pada pengerjaan soal Matematika yang mempunyai beberapa versi pengerjaan, maka dalam suatu jawaban yang tidak sama dengan runtutan kunci jawaban, bisa jadi akan dikatakan kurang benar sehingga mendapat nilai kurang bahkan tidak mendapatkan nilai.
Belum lagi, dengan perbedaan versi rumus pengerjaan, perbedaan cara pengerjaan juga dianggap salah karena kecenderungan subyektifitas pengoreksian. Ya, meski kembali lagi saya katakan itu bisa dianggap sebagai dugaan. Paling tidak, kita berharap standar minimal harus jelas, harus ada koordinasi antara satu sekolah dengan sekolah lain, satu kecamatan dengan kecamatan lain sehingga setiap jawaban memiliki porsi yang sama.
Kekhawatiran dan Harapan
Terkadang muncul pemikiran liar, jika siswa-siswa dengan kemampuan bagus memilih SMP yang gradenya level 2 atau bahkan di bawahnya, bisa jadi fenomena-fenomena rutin semacam ini akan berubah. Toh, pada dasarnya tujuan pendidikan sama bukan?.
Munculnya pemikiran semacam ini mungkin karena sebuah kekhawatiran, jika memang patokan yang nantinya digunakan semacam ini secara terus menerus, justru guru tidak berfokus pada penyampaian materi secara benar. Melainkan, bisa jadi sejak awal tahun pelajaran kelas 6, yang terpikir hanya bagaimana menciptakan sebuah strategi untuk meraih nilai USBN tinggi. Dengan kalimat lain, guru tiap hari berlatih bagaimana bisa mencapai nilai dengan kriteria tinggi, sehingga kalau bisa satu kelas mempunyai nilai sama. Rutinitas seperti itu dilakukan berulang hingga kelulusan. Bagaimana luar biasa bukan?.
Tentunya, kekhawatiran-kekhawatiran demikian sejatinya sebuah wujud harapan bahwa pendidikan bukan diukur dari angka-angka saja. Kesuksesan dalam dunia pendidikan tidak serta merta dari hasil USBN dan masuk di sekolah yang terbaik. Kesuksesan sesungguhnya akan muncul dari kesadaran kita bersama akan pentingnya arti pendidikan. Bagaimanapun sistem PPDB yang akan diterapkan nantinya, kita semua berharap generasi emas bangsa Indonesia masih di dalam naungan garis-garis kejujuran.
Comments
Post a Comment