Oleh: Em. Syuhada’
ADALAH hal biasa jika acara sastra digelar oleh pegiat sastra. Yang tak biasa adalah pagelaran sastra diselenggarakan oleh komunitas yang sebagian anggotanya awam dengan dunia sastra. Hal itu terjadi di Warung Alief pada jumat (4/05), pekan lalu. Sebuah acara bertajuk Malam Pujangga disuguhkan oleh Komunitas GU (baca: ge-u), sebuah komunitas literasi guru pendidikan dasar di Lamongan. Dalam rangka memeringati Hari Pendidikan Nasional tanggal 2 Mei, Malam Pujangga adalah semacam tahni’ah atas terselenggaranya Semacam Sayembara Penulisan Puisi bagi Pelajar dan Mahasiswa Lamongan 2018 yang diadakan Komunitas GU sebelumnya.
Sengaja dinamakan semacam sayembara karena sayembara yang diadakan bukanlah sebagaimana lazimnya sayembara. Tak ada tropy, sertifikat, apalagi hadiah bagi yang naskahnya terpilih, kecuali sebuah buku antologi. Semacam sayembara hanyalah upaya untuk menggelorakan semangat berkarya bagi kawula muda, terutama di Lamongan. Bahkan, Komunitas GU sebagai penggagas acara jangan dibayangkan sebagai komunitas dengan anggota penulis dan penyair handal. GU hanyalah komunitas yang tak jelas strukturnya, yang bertemu dan berdiskusi dari warung kopi. Namun demikian, kekuatan GU terletak pada semangat personal masing-masing anggota untuk saling belajar, baik yang terkait dengan tuntutan profesi, maupun dunia kepenulisan pada umumnya.
Tahun 2017, Komunitas GU telah menerbitkan sebuah buku berumbul Membaca Peristiwa (Pustaka GU:2017), berisi artikel-artikel pendidikan yang ditulis oleh anggota GU. Membaca peristiwa merupakan kegelisahan para guru TK dan SD di Lamongan yang dituangkan dalam tulisan menyambut Hari Guru Nasional (HGN) tahun 2017. Berbagai masalah diulas, mulai dari permasalahan internal lembaga sekolah, tentang strategi pembelajaran abad 21, gerakan literasi sekolah, hingga tantangan berat yang harus dihadapi akibat derasnya pengaruh teknologi informasi.
Malam itu, dua buku diluncurkan, yaitu antologi Manunggaling Kawula Muda (Pustaka GU:2018), berupa kumpulan puisi 18 peserta semacam sayembara, dan Sepasang Lesung Pipit (Pustaka GU:2018), berisi antologi puisi dari anggota Komunitas GU. Selain peluncuran dua buku tersebut, acara yang dikemas sederhana itu juga diisi dengan serangkaian pagelaran serupa monolog, musikalisasi puisi, pembacaan puisi, dan dipungkasi diskusi sastra dengan narasumber Zehan Zareez, seorang penulis muda berbakat yang santri asal Lamongan, dan Herry Lamongan, penyair yang namanya tak asing bagi pegiat seni dan sastra di Jawa Timur, bahkan Indonesia.
Yang menarik bagi saya pada acara malam itu adalah penggalan-penggalan kalimat Monolog Tiga Kamar karya Iswadi Pratama yang dibawakan dengan sangat apik oleh Slamet Niko, pegiat seni jebolan ISI Yogjakarta. Tengok misalnya kalimat berikut: ”... enak saja kau ngomong. Kamu kan yang memilih semua ini? Sok romantis! Sok beda dari yang lain! Terlalu percaya pada fiksi, pada puisi! Gayamu seperti seniman kaliber dunia; estetika-estetika. Nih lihat, kamu sangka semua ini bisa membuatmu meraih apa yang kau impikan?!”
Kalimat-kalimat monolog itu, setidaknya mampu membuat pikiran saya terfokus. Apa sesungguhnya yang diharapkan dariMalam Pujangga? Apakah puisi dan sastra dapat membuat seseorang meraih apa yang diinginkan? Jika konteksnya adalah Hari Pendidikan, apalagi penggagasnya adalah guru, mungkinkah sastra dapat turut serta memberikan solusi terhadap permasalahan pendidikan yang sedang atau akan terus berlangsung?Bukankah puisi dan sastra selama ini sering dipandang eksklusif, bahkan terkadang dinyinyiri oleh sebagian orang, apalagi jika penyairnya hidup di menara gading yang melepaskan diri dari kehidupan sosial masyarakat?
Sastra vs Kehidupan Prgamatik
Pertanyaan-pertanyaan itu mengingatkan saya pada pernyataan Ashadi Siregar, jurnalis dan penulis novel dalam sebuah teks wawancara saat peluncuran Majalah Sastra Sabana untuk pertama kalinya(Menuju Bangsa Tanpa Sastra:2013).Ashadi banyak memberikan ulasan terkait sastra. Tentang manusia dan penyempitan, sebuah peradaban tanpa pemaknaan.Sastra, sepenuturan Ashadi bukan hanya melulu soal teks, tapi ekspresi kebudayaan secara luas yang sangat menentukan dalam peradaban. Ketika diekspresikan, formatnya bisa bermacam-macam, baik berupa teks maupun visual. Yang perlu digarisbawahi, dalam setiap ekspresi itu ada dinamika nilai yang harus digali agar membawa perubahan dalam kehidupan.
Sayangnya, upaya pemaknaan seperti dikemukakan Ashadi Siregar itu lambat laun tergeser, untuk tidak mengatakan hilang sama sekali, dari manusia akibat kehidupan pragmatik. Manusia Indonesia, bahkan manusia di permukaan bumi saat ini terlalu mementingkan capaian-capaian pragmatis. Sastrawan sendiri, ketika menemukan masyarakatnya tidak menerima karya sastra dengan alasan pragmatik, mereka juga bisa terpeleset untuk membawa sastra ke dunia pragmatik. Pada titik inilah, monolog Dari Tiga Kamar-nya Iswadi Pratama menemukan relevansinya.
Joko Umbaran (Sabana: 2013)menegaskan, bahwa sastra itu segala sesuatu tentang membaca. Membaca adalah segala hal terkait mencari makna. Makna itulah yang membuat manusia bukan hewan, atau yang lain. Maka, bersastra salah satu maknanya adalah mengekspresikan pengembaraan makna melalui bentukanpuisi, cerita pendek, novel, maupun yang lain. Tapi manusia penempuh makna tidak akan berhenti pada bentukan-bentukan formal semacam itu. Ia akan terus menggerakkan hidupnya untuk mencari makna.
Tinggal diperluas, kegiatan demokrasi akan menghancurkan manusia jika disandera sebagai ativitas pragmatik, dan para pelakunya tidak menelusuri jalan pemaknaan demokrasi bagi kesejahteraan manusia dan kemanusiaan. Begitu juga dengan pendidikan. Pendidikan tak akan mungkin menghasilkan outputyang diinginkan, jika pelaku pendidikan hanya berkutat seputar wilayah pragmatik, dan tidak melakukan pemaknaan terhadap fungsi dan tujuan pendidikan bagi kehidupan dan kemanusiaan.
Alhasil, Malam Pujangga malam itu mungkin tidak menghasilkan apa-apa. Tapi setidaknya, semangat melakukan pemaknaan itulah yang harus dijaga. Kata Zehan, tak penting sebuah kata, yang terutama adalah bagaimana ruh kata-kata itu bisa memengaruhi pembacanya. Dan jika sudah perihal karya, tak ada istilah tua dan muda. Yang dibutuhkan adalah melangkah seirama agar bisa melahirkan karya. Tidakkah memang demikian? (*)
*) Em.Syuhada’, Anggota Komunitas GU
Tinggal di Lamongan Jawa Timur.
Comments
Post a Comment