PENGUATAN PENDIDIKAN KARAKTER TANPA LIMA HARI SEKOLAH
Oleh: Nur Kholis Huda, M.Pd.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2017 yang mengatur waktu sekolah selama 5 hari dengan menerapkan 8 jam kerja sehari, sempat membuat keguncangan di berbagai kalangan. Salah satunya, kalangan Nahdlatul Ulama (NU) yang paling gencar menolak peraturan tersebut. Dengan ditandatanganinya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter, paling tidak membuat sedikit lega. Karena di dalam Perpres ini, tepatnya pada pasal 9, keharusan 5 hari sekolah akhirnya diubah dengan memberikan pilihan untuk melaksanakan 5 atau 6 hari kerja.
Dalam penerapan 5 hari sekolah, keresahan akan daya tahan belajar siswa memang tidak bisa dipungkiri. Kita semua tahu bahwa kemampuan otak manusia terbatas, tidak hanya orang dewasa, hal ini berlaku pada semua usia. Khususnya usia sekolah dasar, mereka masih memiliki kecenderungan untuk bermain berdasarkan dari karakter perkembangan usianya. Jika dipaksakan untuk menghadapi kegiatan di sekolah dalam jangka waktu lama, kita khawatir anak akan kehilangan masa-masa bermain dan menjadi pribadi yang tertekan.
Pendidikan yang baik harus dilaksanakan secara berjenjang (hirarkis). Lebih baik belajar sedikit tetapi berkelanjutan, daripada belajar dalam satu waktu yang panjang. Jika kita mengacu pada teori ini, maka konsep 5 hari sekolah justru akan merusak daya serap belajar anak. Bisa jadi, mereka tidak maksimal dalam menerima materi pelajaran, atau hanya menjadi rutinitas semata. Pelaksanaan 5 hari sekolah, mungkin akan lebih cocok mulai dicoba pada tingkat pendidikan menengah (SMA sederajat). Pada usia ini, peserta didik sudah bisa mandiri, fisik lebih kuat, dan bisa mengondisikan diri jika mengalami kejenuhan.
Untuk melaksanakan 5 hari sekolah, khususnya pada tingkat sekolah dasar, tidak bisa dilakukan dalam sekejap. Hal ini membutuhkan persiapan, karena butuh banyak penunjang mulai dari sarana prasarana sekolah, kesiapan peserta didik, serta kesiapan orang tua/ wali murid. Hal ini tentu berbeda dengan sekolah-sekolah yayasan, terutama yang berbasis agama. Sebuah sekolah yang berbasis agama, suatu misal sekolah-sekolah islam (sederajat sekolah dasar), mungkin lebih siap. Karena selain siap anggaran (ditunjang yayasan dan wali murid), sekolah tersebut juga sudah memiliki tenaga-tenaga yang memang sudah dipersiapkan untuk mengajar khusus pada bidang-bidang religi seperti akhlak, aqidah, keislaman, atau lainnya.
Pada sekolah umum milik pemerintah (tingkat sekolah dasar), kita semua tahu bahwa anggaran sangat terbatas. Selain itu, banyak hal yang perlu dipersiapkan, mulai tenaga tambahan, pengaturan jadwal, sampai urusan makan siang yang sudah pasti pada usia ini anak-anak masih belum bisa mandiri. Dalam satu hari, sekolah harus mengatur minimal 6 kegiatan yang berbeda, karena sangat tidak mungkin jika seluruh kelas melaksanakan kegiatan yang sama dengan pengajar yang sama sebagai pemekaran jam belajar. Untuk itu, penguatan pendidikan karakter pada sekolah dasar lebih ideal dengan tetap menerapkan pembelajaran 6 hari sekolah seperti biasa.
Pendidikan karakter merupakan kunci yang sangat penting di dalam membentuk kepribadian anak. Selain di rumah, pendidikan karakter juga perlu diterapkan di sekolah dan lingkungan sosial. Penguatan pendidikan karakter merupakan tanggung jawab bersama, tidak hanya guru, orang tua, akan tetapi seluruh masyarakat yang pastinya melibatkan guru dan orang tua di dalamnya. Jika salah satu tidak berperan, maka penguatan pendidikan karakter akan pincang, karena orang tua dan guru merupakan sosok teladan bagi anak-anak di tempat masing-masing. Pada hakikatnya, pendidikan memiliki tujuan untuk membantu manusia menjadi cerdas dan tumbuh menjadi insan yang baik.
Pada dasarnya pendidikan karakter sudah dilaksanakan di sekolah-sekolah dari zaman dahulu. Bedanya, dengan adanya Perpres tentang Penguatan Pendidikan Karakter, segala karakter yang akan ditumbuhkan dijabarkan secara detail, terjadwal, bahkan terinci dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Hal ini dilakukan pemerintah sebagai upaya terobosan agar pendidikan karakter ini bisa dilaksanakan secara konsisten oleh sekolah dan memberikan dampak yang nyata.
Lima karakter dalam Program PPK yakni: religius, nasionalis, mandiri, gotong royong, dan integritas, mempunyai urgensi yang sama. Kelima karakter ini harus dilaksanakan secara kolaboratif. Guru mengintegrasikan nilai-nilai karakter tersebut dalam pembelajaran di kelas, Kepala Sekolah mendesain budaya sekolah, dan sekolah melibatkan publik guna meningkatkan peran orang tua dan masyarakat.
Akhirnya kita semua berharap, penguatan pendidikan karakter akan tetap berjalan, entah dengan melaksanakan 5 hari atau 6 hari sekolah dengan kelemahan masing-masing. Pendidikan karakter juga bukan hal yang formalitas belaka, integrasi dalam pembelajaran harus membuahkan generasi-generasi emas berkarakter, termasuk dalam penyelenggaraan ujian nasional dan sebagainya. Semoga.
Telah dimuat di Media Pendidikan Jatim, edisi Januari 2018
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2017 yang mengatur waktu sekolah selama 5 hari dengan menerapkan 8 jam kerja sehari, sempat membuat keguncangan di berbagai kalangan. Salah satunya, kalangan Nahdlatul Ulama (NU) yang paling gencar menolak peraturan tersebut. Dengan ditandatanganinya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter, paling tidak membuat sedikit lega. Karena di dalam Perpres ini, tepatnya pada pasal 9, keharusan 5 hari sekolah akhirnya diubah dengan memberikan pilihan untuk melaksanakan 5 atau 6 hari kerja.
Dalam penerapan 5 hari sekolah, keresahan akan daya tahan belajar siswa memang tidak bisa dipungkiri. Kita semua tahu bahwa kemampuan otak manusia terbatas, tidak hanya orang dewasa, hal ini berlaku pada semua usia. Khususnya usia sekolah dasar, mereka masih memiliki kecenderungan untuk bermain berdasarkan dari karakter perkembangan usianya. Jika dipaksakan untuk menghadapi kegiatan di sekolah dalam jangka waktu lama, kita khawatir anak akan kehilangan masa-masa bermain dan menjadi pribadi yang tertekan.
Pendidikan yang baik harus dilaksanakan secara berjenjang (hirarkis). Lebih baik belajar sedikit tetapi berkelanjutan, daripada belajar dalam satu waktu yang panjang. Jika kita mengacu pada teori ini, maka konsep 5 hari sekolah justru akan merusak daya serap belajar anak. Bisa jadi, mereka tidak maksimal dalam menerima materi pelajaran, atau hanya menjadi rutinitas semata. Pelaksanaan 5 hari sekolah, mungkin akan lebih cocok mulai dicoba pada tingkat pendidikan menengah (SMA sederajat). Pada usia ini, peserta didik sudah bisa mandiri, fisik lebih kuat, dan bisa mengondisikan diri jika mengalami kejenuhan.
Untuk melaksanakan 5 hari sekolah, khususnya pada tingkat sekolah dasar, tidak bisa dilakukan dalam sekejap. Hal ini membutuhkan persiapan, karena butuh banyak penunjang mulai dari sarana prasarana sekolah, kesiapan peserta didik, serta kesiapan orang tua/ wali murid. Hal ini tentu berbeda dengan sekolah-sekolah yayasan, terutama yang berbasis agama. Sebuah sekolah yang berbasis agama, suatu misal sekolah-sekolah islam (sederajat sekolah dasar), mungkin lebih siap. Karena selain siap anggaran (ditunjang yayasan dan wali murid), sekolah tersebut juga sudah memiliki tenaga-tenaga yang memang sudah dipersiapkan untuk mengajar khusus pada bidang-bidang religi seperti akhlak, aqidah, keislaman, atau lainnya.
Pada sekolah umum milik pemerintah (tingkat sekolah dasar), kita semua tahu bahwa anggaran sangat terbatas. Selain itu, banyak hal yang perlu dipersiapkan, mulai tenaga tambahan, pengaturan jadwal, sampai urusan makan siang yang sudah pasti pada usia ini anak-anak masih belum bisa mandiri. Dalam satu hari, sekolah harus mengatur minimal 6 kegiatan yang berbeda, karena sangat tidak mungkin jika seluruh kelas melaksanakan kegiatan yang sama dengan pengajar yang sama sebagai pemekaran jam belajar. Untuk itu, penguatan pendidikan karakter pada sekolah dasar lebih ideal dengan tetap menerapkan pembelajaran 6 hari sekolah seperti biasa.
Pendidikan karakter merupakan kunci yang sangat penting di dalam membentuk kepribadian anak. Selain di rumah, pendidikan karakter juga perlu diterapkan di sekolah dan lingkungan sosial. Penguatan pendidikan karakter merupakan tanggung jawab bersama, tidak hanya guru, orang tua, akan tetapi seluruh masyarakat yang pastinya melibatkan guru dan orang tua di dalamnya. Jika salah satu tidak berperan, maka penguatan pendidikan karakter akan pincang, karena orang tua dan guru merupakan sosok teladan bagi anak-anak di tempat masing-masing. Pada hakikatnya, pendidikan memiliki tujuan untuk membantu manusia menjadi cerdas dan tumbuh menjadi insan yang baik.
Pada dasarnya pendidikan karakter sudah dilaksanakan di sekolah-sekolah dari zaman dahulu. Bedanya, dengan adanya Perpres tentang Penguatan Pendidikan Karakter, segala karakter yang akan ditumbuhkan dijabarkan secara detail, terjadwal, bahkan terinci dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Hal ini dilakukan pemerintah sebagai upaya terobosan agar pendidikan karakter ini bisa dilaksanakan secara konsisten oleh sekolah dan memberikan dampak yang nyata.
Lima karakter dalam Program PPK yakni: religius, nasionalis, mandiri, gotong royong, dan integritas, mempunyai urgensi yang sama. Kelima karakter ini harus dilaksanakan secara kolaboratif. Guru mengintegrasikan nilai-nilai karakter tersebut dalam pembelajaran di kelas, Kepala Sekolah mendesain budaya sekolah, dan sekolah melibatkan publik guna meningkatkan peran orang tua dan masyarakat.
Akhirnya kita semua berharap, penguatan pendidikan karakter akan tetap berjalan, entah dengan melaksanakan 5 hari atau 6 hari sekolah dengan kelemahan masing-masing. Pendidikan karakter juga bukan hal yang formalitas belaka, integrasi dalam pembelajaran harus membuahkan generasi-generasi emas berkarakter, termasuk dalam penyelenggaraan ujian nasional dan sebagainya. Semoga.
Telah dimuat di Media Pendidikan Jatim, edisi Januari 2018
Comments
Post a Comment